Friday, 7 September 2007
Blog Baru
majalaholahraga.blogspot.com
majalahantariksa.blogspot.com
majalahperang.blogspot.com
majalahmotor.blogspot.com
majalahmobil.blogspot.com
majalahrumahkita.blogspot.com
majalahgayahidup.blogspot.com
majalahkesehatan.blogspot.com
majalahpertanian.blogspot.com
majalahperkebunan.blogspot.com
majalahsenidandesain.blogspot.com
majalahekonomi.blogspot.com
majalahbisnis.blogspot.com
majalahsosial.blogspot.com
majalahkebudayaan.blogspot.com
majalahpsikologi.blogspot.com
majalahsastra.blogspot.com
majalahilmupengetahuan.blogspot.com
majalahteknologi.blogspot.com
majalahkomputer .blogspot.com
majalahkeagamaan .blogspot.com
majalahpolitik .blogspot.com
majalahfilsafat .blogspot.com
majalah sepak bola.blogspot.com
majalahbolabasket.blogspot.com
majalahbulutangkis.blogspot.com
Dinosaurus
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Dinosaurus merupakan hewan reptilia yang telah ada berjuta-juta tahun dahulu pada zaman pra-sejarah pada zaman Mesozoikum, Zaman Dinosaurus. Tak semua hewan yang hidup pada zaman prasejarah dianggap sebagai dinosaurus. Selain itu, dinosaurus juga terdapat dalam pelbagai jenis dan ukuran, dari 30 meter panjang (100 kaki) dan sampai 15 m tinggi (50 kaki) seperti (Argentinosaurus, Seismosaurus, Ultrasaurus, Brachiosaurus, dan Supersaurus) hingga yang berukuran seekor ayam. Kebanyakan dinosaurus berukuran antara kedua jenis itu.
Tuesday, 4 September 2007
Perang Bubat
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang saat itu sedang melaksanakan Sumpah Palapa. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada tahun 1357 M.
Rencana pernikahan
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.[rujukan?]
Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.
Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.
Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Kesalah-pahaman
Mahapatih Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat merupakan suatu tanda bahwa Negeri Sunda harus berada di bawah panji Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Gugurnya rombongan Sunda
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.
Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).
Majapahit
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
![]() Lokasi ibu kota Majapahit di bagian timur Jawa | |
Berdiri | 1293-ca.1500 |
Didahului oleh | Singhasari |
Digantikan oleh | Demak |
Ibu kota | Tarik Trowulan Kahuripan Daha |
Bahasa | Jawa Kuna |
Agama | Hindu Buddha Islam |
Pemerintahan -Raja pertama -Raja terakhir | Monarki Raden Wijaya (1293-1309) Girindrawardhana (1478-1498) |
Sejarah -Didirikan -Zaman kejayaan -Perang saudara -Krisis suksesi | 1293 1350-1389 1405-1406 1453-1456 |
Majapahit adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan berpusat di pulau Jawa bagian timur. Kerajaan ini pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, dan banyak wilayah lain di Nusantara. Majapahit dapat dikatakan sebagai kerajaan terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara dan termasuk yang terakhir sebelum berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Nusantara.
Sumber catatan sejarah
Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuna.[1] Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuna yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.[2] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuna maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Namun demikian, garis besar sumber-sumber tersebut sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok. Khususnya, daftar penguasa dan keadaan kerajaan ini tampak cukup pasti.[2]
Sejarah
Berdirinya Majapahit
Lihat artikel Raden Wijaya untuk kronologi yang lebih rinci.
Sesudah Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, kekuasaan Singhasari yang naik menjadi perhatian Kubilai Khan di China dan dia mengirim duta yang menuntut upeti. Kertanagara penguasa kerajaan Singhasari menolak untuk membayar upeti dan Khan memberangkatkan ekspedisi menghukum yang tiba di pantai Jawa tahun 1293. Ketika itu, seorang pemberontak dari Kediri bernama Jayakatwang sudah membunuh Kertanagara. Kertarajasa atau Raden Wijaya, yaitu anak menantu Kertanegara, kemudian bersekutu dengan orang Mongol untuk melawan Jayakatwang. Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut.[3]
Pada tahun 1293 itu pula Raden Wijaya membangun daerah kekuasaannya di tanah perdikan daerah Tarik, Sidoarjo, dengan pusatnya yang diberi nama Majapahit. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawarddhana.
Kejayaan Majapahit
Penguasa Majapahit paling utama ialah Hayam Wuruk, yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, keraton Majapahit diperkirakan telah dipindahkan ke Trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto).
Gajah Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas kekuasaan kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki Palembang[4], menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta sebagian Papua (Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara[5]. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja[4].Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke China[4].
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468[2].
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana[6].
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara[7].
Catatan sejarah dari China, Portugis, dan Italia mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M[6].
Kebudayaan

Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama tidak menyebut keberadaan Islam, namun tampaknya ada anggota keluarga istana yang beragama Islam pada waktu itu[4].
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya[8]. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah pohon anggur dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Candi Bajangratu di Trowulan, Mojokerto.
Ekonomi
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[4]. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa[9].
Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga[10]. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata[11].
Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya[12]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.
Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
-
- Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
- Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
- Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
- Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
[sunting] Pembagian wilayah
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[13] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
|
|
|
|
|
Raja-raja Majapahit
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[2].
- Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
- Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
- Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
- Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
- Wikramawardhana (1389 - 1429)
- Suhita (1429 - 1447)
- Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
- Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
- Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
- Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
- Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
- Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
- Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)[rujukan?]
Warisan sejarah
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa Indonesia pada abad-abad berikutnya. Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[8]
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini.[4] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[14]Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[15] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini.
Majapahit dalam kesenian modern
Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.
Suluk
- Suluk Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Buda" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.
Komik dan strip komik
- Serial "Mahesa Rani" karya Jan Mintaraga yang dimuat di Majalah Hai, mengambil latar belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier Narottama (Gajah Mada).
- Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan Mintaraga.
- Komik Majapahit karya R.A. Kosasih
- Strip komik "Panji Koming" karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas" edisi Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang warga Majapahit bernama Panji Koming.
Roman/novel sejarah
- Sandyakalaning Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan Majapahit, karya Sanusi Pane.
- Senopati Pamungkas (1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya Singhasari dan awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara, karya Arswendo Atmowiloto.
- Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005), roman karya Hermawan Achsan tentang Dyah Pitaloka, putri dari Pajajaran yang gugur dalam Peristiwa Bubat.
- Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya Langit Kresna Hariadi.
Kakawin Nagarakretagama
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Kakawin Nagarakretagama (Nāgarakṛtâgama) (aksara Bali: ) atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana (Deśawarṇana) (aksara Bali:
) bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa Kuna yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah yang paling banyak diteliti pula.
Isi
Kakawin ini menguraikan keadaan di kraton Majapahit dalam masa pemerintahan prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Beliau bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389 Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara.
Sebagian besar teks menceritakan perjalanan sang raja ke daerah Blambangan dan Singosari. Kematian patih Gajah Mada juga ditulis.
Bagian terpenting teks ini tentu saja menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti. Interpretasi isi ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.
Di balik kontroversi ini ada hal menarik: Sunda dan Madura tidaklah disebut sebagai wilayah kerajaan, padahal teks ini menyebut banyak sekali daerah dari ujung utara pulau Sumatra, Brunei sampai Papua (dalam teks disebut Wwanin = Onin).
Arti judul
Judul kakawin ini, Nagarakretagama artinya adalah "Negara dengan Tradisi (Agama) yang suci. Tetapi pengarangnya juga menyebutnya Deśawarṇana, yang berarti "Penulisan tentang Daerah-Daerah".
Pengarang
Nagarakretagama digubah oleh mpu Prapañca pada tahun 1365 Masehi (tahun 1287 Saka. Sewaktu menulis Nagarakretagama, Prapañca masih belum bergelar mpu karena masih seorang calon pujangga. Ayahnya bernama mpu Nadendra dan memegang jabatan: Dharmâdhyaksa ring Kasogatan, atau Ketua dalam urusan agama Buddha.
Naskah
Teks ini semula dikira hanya terwariskan dalam sebuah naskah tunggal yang diselamatkan oleh J.L.A. Brandes, seorang ahli Sastra Jawa Belanda, yang ikut menyerbu istana Raja Lombok pada tahun 1894. Ketika penyerbuan ini dilaksanakan, para tentara KNIL membakar istana dan Brandes menyelamatkan isi perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah lontar. Salah satunya adalah lontar Nagakretagama ini. Semua naskah dari Lombok ini dikenal dengan nama lontar-lontar Koleksi Lombok yang sangat termasyhur. Koleksi Lombok disimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Nasib naskah sekarang
Naskah Nagarakretagama disimpan di Leiden dan diberi nomor kode L Or 5.023. Lalu dengan kunjungan Ratu Juliana, Belanda ke Indonesia pada tahun 1973, naskah ini diserahkan kepada Republik Indonesia. Konon naskah ini langsung disimpan oleh Ibu Tien Soeharto di rumahnya, namun ini tidak benar. Naskah disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan diberi kode NB 9.
Hayam Wuruk
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Hayam Wuruk (atau Rajasanagara) adalah raja Majapahit (1350-1389). Ia dianggap sebagai raja terbesar Majapahit atas dasar pada masa pemerintahannya Majapahit mencapai wilayah terluasnya. Mahapatih Gajah Mada memiliki peranan penting dalam pemerintahan Hayam Wuruk.
Asal-usul
Hayam Wuruk adalah putera Tribhuwana Wijayatunggadewi, dilahirkan pada tahun 1334, yang konon bertepatan dengan gempa bumi di Pabanyupindah. Nama Hayam Wuruk berarti "ayam yang masih muda". Hayam Wuruk naik tahta ketika berusia 16 tahun. Ia menikah dengan Paduka Sori (Parameswari).
Masa pemerintahan Hayam Wuruk
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).
Peristiwa Bubat
- Artikel utama: Perang Bubat
Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja Pajajaran (di Jawa Barat), Diah Pitaloka Citrasemi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok Pajajaran. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak Pajajaran untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Pajajaran menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.
"Kecelakaan sejarah" ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.
Sastra
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, kitab Kakawin Sutasoma (yang memuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika) digubah oleh Mpu Tantular, dan kitab Nagarakretagama digubah oleh Mpu Prapanca (1365).
Suksesor
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.